Diyus

Puntung Rokok

Puntung rokok bertebaran di lantai. 3 buah asbak yang tersedia di meja sepertinya tak mampu membendung hasrat “Asbak seluas lantai” yang sudah mendarah-daging. Sudah seperti ekspresi genetik. Rasanya ada yang kurang jika puntung tak berada di lantai dengan abu bertebaran. Tapi demikianlah selalu. Kami suka suasana macam ini. Setelah melewati hari dengan orang yang itu-itu saja, aktivitas yang begitu-begitu saja dan aku sendiri yang masih begini-begini saja.

Sebutlah ia kelindan hidup. Ketika hidup sedang berada di lingkup kubangan, ruang lain tampak tertutup. Jangankan peluang, tempat kita berada saja kerap tak berganti. Begitu pagi hari, engkau akan mandi, gosok gigi, sarapan berpakaian, menyalakan kendaraan dan langsung menuju ke tempat kerja untuk menjalani rutinitas. Jadi kita melaksanakan sesuatu yang rutin untuk menjalankan rutinita. Rutinitas di atas rutinitas. Untuk menjadi rutin, kalian harus rutin terlebih dahulu.

Menempuh jalan yang itu-itu saja. Tak pernah menyimpang. Tak sepakat dengan pernyataan tak menyimpang? Mari kita kaji. Jam istirahat kalian mengunjungi kantin, atau yang belum sempat sarapan di rumah akan sarapan di kantin. Lantas kerja lagi sampai waktu zuhur tiba. Makan siang, entah dengan bekal yang engkau bawa dari rumah atau beli di kantin. Usai jam kantor, kalian akan kembali ke rumah masing-masing untuk mandi.

Lalu nonton tivi atau ngopi. Katakanlah sampai jam 12 malam. Lalu tidur. Paginya bangun lagi. Entah oleh alarm HP, weker, azan atau dibangunkan pasangan (bagi yang sudah punya) dari jarak jauh ataupun dekat (khusus para pelaku LDR). Lantas mengulang kembali peristiwa kemarin. Mungkin dengan tambahan kunjungan lapangan, perjalanan dinas ke daerah atau meninjau proyek yang sedang dikerjakan kantor. Sesekali saat menjelang siang, seorang kawan menelpon mengajak ngopi, lalu kembali ke kantor untuk mengisi absen sore, lantas pulang lagi dengan moda transportasi yang sama dan  jalur yang sama. Sampai di rumah mandi lagi, nonton tivi lagi, makan malam lagi, ngopi lagi, sampai jam 12 lagi dan paginya kembali terbangun dengan proses yang sama. Ke kantor lagi, begitu lagi, di jalur itu lagi, kantor itu lagi, orang yang hampir selalu itu-itu lagi.

Tibalah hari Sabtu. Bagi birokrasi penganut mazhan 5 Hari Kerja, Sabtu menjadi tempat keindahan bermula. Ketika jalur rutin di hari kerja sedikit bergeser ke pasar, ke lapangan atau areal publik untuk berolahraga, menemani keluarga jalan-jalan dan makan-makan. Memasak di rumah dengan menu yang sedikit lebih khusus, meluangkan waktu untuk memanjakan diri dengan treatment salon atau panti pijat, pedicure, manicure, cukyur-cukyur. Pergi ke toko buku dan ngopi lagi bersama kawan sampai jam 12 lalu pulang lagi ke rumah. Ada yang lebih dan ada yang istimewa pada hari libur sehingga menjadikannya lebih istimewa. Meski melewatkannya dengan bermalas-malasan sekalipun.

Nah… sepertinya Sabtu dan Minggu begitu ceria. Hidup yang sesekali terjeda oleh rutinitas atau perhelatan yang merayakan fase kehidupan, kelahiran, keremajaan, perkawinan dan kematian. Masih ada hari-hari besar yang kita rayakan dengan berlibur juga, atau dengan saling mengunjungi sanak saudara dan handai taulan di tempat lain.

Cobalah lihat secara keseluruhan. Lihat sekali lagi saja. Polanya akan seperti itu selalu. Tiap kita akan punya sedikit sekali waktu untuk keluar dari rutinitas yang telah terpilih sebagai jalan. Meski rutinitas itu berwujud kerja-keras untuk bermalas-malasan.

 


Leave a Comment