Represi terhadap Muslim Ahmadiyah Meluas

Harlan

Karachi (IPS) – “KEBENCIAN terhadap kami sekarang menyebar ke kota-kota kecil dan pelosok desa,”  ujar Saleemuddin, jurubicara komunitas Muslim Ahmadiyah di Pakistan, organisasi agama yang jadi sasaran represi, kepada IPS.

Para Ahmadi –sebutan muslim Ahmadiyah– meyakini Mirza Ghulam Ahmad, pendiri komunitas Jemaah Ahmadiyah pada abad ke-19, “sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan.” Keyakinan ini dianggap ‘bid’ah’ oleh hampir semua mazhab Islam ortodoks. Pemerintah Pakistan menyatakan empat juta Ahmadi sebagai “non-Muslim”.

Bicara kepada IPS via telepon dari Rabwah –sebuah kota di provinsi Punjab, juga dikenal Chenab Nagar– tempat 95 persen Ahmadi, Saleemuddin berkata, “Kami dalam keadaan sulit – bila menyatakan Muslim, kami akan dituntut dan dihukum; tapi kami tak bisa mengatakan kami non-Muslim karena kami adalah Muslim.”

Pada 28 Mei tahun lalu, 94 Muslim Ahmadiyah dibantai di masjid mereka saat salat Jumat di kota Lahore bagian timur. Sejak itu, kata Saleemuddin, represi terhadap muslim Ahmadiyah meningkat, dengan 11 orang lebih dibunuh.

Tahun lalu pemerintah Punjab mewajibkan semua siswa untuk menyatakan apakah mereka “Muslim atau non-Musim” sebelum masuk sekolah atau kampus, bahkan sebelum mengikuti ujian penerimaan.

Dua bulan lalu Raziatul Bari, guru bahasa Inggris berusia 23 tahun di Sekolah Negeri Chenab di desa Dharanwali, Punjab, dipecat. Pada sore yang sama, sepuluh siswa –beberapa dari sekolah tersebut dan yang lain, termasuk murid taman kanak-kanak usia 4 tahun Manahil Jameel, dari sekolah madrasah negeri –dikeluarkan dari sekolahnya.

Yasser Arafat, kepala Sekolah Negeri Chenab, berkata kepada IPS, “Ibu guru itu mengajarkan keyakinannya di sekolah meski ada peringatan, sehingga dia diminta keluar. Para siswa ikut keluar sebagai bentuk protes.”

Arafat menuduh para siswa dan guru itu ingin “menarik perhatian internasional supaya mereka dapat meminta suaka.”

Bari, yang pernah menjadi murid di Sekolah Negeri Chenab sebelum menjadi guru di sana, berkata dia belum pernah menghadapi masalah seperti ini sebelumnya.

“Ini semua dimulai beberapa bulan lalu ketika seorang kiai datang dan meracuni desa kami,” katanya kepada IPS. Sesudah kedatangan kiai tersebut, beberapa kali Arafat memaksa Bari untuk “kembali ke Islam”. “Setiap kali saya selalu mengatakan kepadanya bahwa saya Muslim,” ujar Bari. Namun, pengakuan dirinya Muslim tak dianggap oleh Arafat dan sia-sia belaka.

Dari 210 kepala keluarga di desa Dharanwali, ujar Bari, hanya ada sembilan keluarga Muslim Ahmadiyah, yang kini hidup dalam ketakutan.

“Sekarang anak-anak kami dikeluarkan dari sekolah, besok mungkin kami akan dipaksa meninggalkan rumah kami. Ke mana kami akan pergi?”

Selama bertahun-tahun Muslim Ahmadiyah di Pakistan menutupi identitasnya, hidup dalam ketakutan dan penghinaan. Kini kebencian terhadap mereka menyebar dan para bigot bertindak lebih agresif, yang memicu beberapa peristiwa penganiayaan atas nama agama.

Pada bulan Juni, pamflet berisi nama-nama dan alamat keluarga Ahmadi serta pesan hasutan pembunuhan beredar di kota Faisalabad, Punjab. Beberapa bulan kemudian Naseem Ahmed, pria berusia 55 tahun, yang namanya tercantum dalam pamflet itu, tewas ditembak di rumahnya.

Kasus lain, kiai lokal di sebuah desa kecil di Punjab berkhotbah dengan nada keras setelah melihat ada anak-anak dari seorang Ahmadi yang meninggal memanjatkan doa untuk ayah mereka. “Siapapun yang mendoakan seorang kafir (dalam kasus ini, Muslim Ahmadiyah) harus keluar dari Islam.”

Sentimen anti-Ahmadiyah tak terbatas di Punjab. Di Quetta, ibukota provinsi Balochistan, sekelompok kiai memaksa seorang Ahmadi “meninggalkan” keyakinannya dan memberi peringatan bila menolak bisnisnya akan dibakar dan dia akan dibunuh.

Menurut konstitusi Pakistan, minoritas Ahmadiyah tak bisa menyebut diri mereka Muslim, dilarang merujuk tempat ibadah mereka sebagai masjid, dan bahkan tak boleh melantunkan shalawat untuk Nabi Muhammad.

Sementara itu, untuk pemilihan umum nasional pada 2013, pemerintah Pakistan telah memperbarui daftar pemilih dengan mencantum sebuah kolom baru mengenai identitas agama. Bila Muslim Ahmadiyah ingin memberikan suara, mereka terpaksa mengisi kolom tersebut, dengan kata lain menerima “status” yang mereka tandai sebagai non-Muslim.

Formulir baru itu menyatakan bahwa setiap warga negara yang menyatakan diri seorang Muslim harus menegaskan “dia meyakini Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir; bahwa dia bukan pengikut dari siapapun yang mengaku sebagai seorang nabi setelah Muhammad dan tak menyebut diri seorang Ahmadi.”

Qari Shabbir Ahmed Usmani, seorang kiai terkemuka di Khatme-Nabuwat Momin, salah satu gerakan keagamaan di Pakistan yang bertujuan melindungi kesucian Nabi Muhammad, tinggal di Chenab Nagar sejak 1976. Dia mengatakan, jika konstitusi sudah menyatakan bahwa Ahmadi bukan Muslim, mereka seharusnya menerima status itu bila ingin terus hidup di negara ini.

“Mereka menyesatkan orang-orang beriman, dan ingin Pakistan pecah. Mereka adalah musuh negara ini,” kata Usmani, menambahkan dia tak pernah mau “menjalin kontak sosial” dengan para Ahmadi.

Namun Ali Dayan Hasan, direktur Human Rights Watch di Pakistan, berkata kepada IPS bahwa langkah pemerintah memperbarui daftar pemilih merupakan “kesalahan besar dalam sejarah.” Dia menambahkan, pemerintah “terlibat” dalam pelanggaran hukum terhadap Ahmadiyah karena “enggan” mencabut atau mengamandemen undang-undang yang diskriminatif.

Sejak 1974, pemerintah militer dan sipil di Pakistan telah mengeluarkan sejumlah peraturan yang diskriminatif terhadap Ahmadiyah.

Hasan berkata, “hukum diskriminatif yang dilembagakan oleh negara terhadap Ahmadiyah pada 1974 menyebabkan peningkatan diskriminasi sosial selama beberapa dekade.”

Hasan menganggap pengusiran murid dan guru baru-baru ini di desa Dharanwali sebagai “perlakuan kejam yang menjijikkan. Menurutnya, negara dan beberapa golongan masyarakat di Pakistan “tampaknya bertekad untuk menolak Ahmadiyah, Kristen, dan lainnya yang mempertanyakan intoleransi dan diskriminasi di manapun pada seluruh lapisan masyarakat.”

Saleemuddin juga menyalahkan pemerintah yang memicu kebencian terhadap komunitasnya. “Ini membuat para kiai garis keras menyebarkan kebencian terhadap kami,” katanya.

Kelompok-kelompok HAM dan media nyaris diam dalam menghadapi diskriminasi mencolok ini. “Peran media dalam masyarakat kami sangat buruk,” ujar Kamila Hyat, aktivis HAM dan jurnalis kepada IPS. “Bias masyarakat dipengaruhi liputan media mengenai kasus ini.” [Zofeen Ebrahim]

Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik, dan dimuat kembali di Acehcorner.com atas izin Yayasan Pantau.