Baru dua hari lalu, satu kardus dikirim lagi dari luar Aceh ke Komunitas Kanot Bu. Pengirimnya tercatat bernama BaNANA dan penerima Muhadzier. Itu kardus kulihat sepulang dari ngopi sore, dan kardus sudah di atas meja utama ruang bawah. Kuangkat, beratnya lebih sepuluh kilogram. Aku tebak kalau kardus ini isinya adalah buku. Aku coba berspekulasi lebih lagi tentang isi kardus, dan boleh saja isi kardus itu adalah bom yang sengaja dikirim untuk membunuh si penerima. Tapi sudahlah, aku harus buang jauh-jauh pikiran buruk itu, dan aku naik ke lantai dua Bivak Kanot Bu.
Berselang jam aku sudah sibuk sendiri, main game, menulis, tidur dan lalu bangun untuk main game lagi. Sedang asik-asik, panggilan masuk dari Muhadzier mengganggu konsentrasiku. “Pat bang pan?,” suara dari seberang. “Di Kanot Bu,” singkat jawabku. Dan berlalulah omong-omong yang ujung-ujung nya, kanda minta tolong agar kardus miliknya kubawa ke lantai dua. Katanya demi keamanan isi kardus, apalagi malam itu hujan dan angin sedang beraksi.
Semalam sudah terlewati, dan esoknya seperti banyak hari, aku menghabiskan waktu di Chek Yukee kupi, di tepi kali Aceh. Sekira setengah gelas sudah kuhabiskan, Muhadzier tiba dengan kacamata hitam di selip di atas keningnya. Ia duduk persis di depanku, tapi masih satu meja kopi. Ia pun memesan segelas kupi pagi yang sudah jelang siang. Rencananya, usai ngopi di sini ia akan ke Bivak untuk melihat kardus yang dikirim untuknya kemarin.
“Eunteuk menyoe jak u Bivak, lon numpang beuh?,” tanyaku setengah meminta. “gampang nyan,” ujar Muhadzier mengernyitkan keningnya. “Alhamdulillah, akhirnya ada juga tumpangan pulang,” ujarku dalam hati. Pasalnya, sedari tadi aku sebenarnya sudah tidak betah berlama-lama di warung kopi. Tapi kebetulan, usai dari urusan kampus, tadi aku sempatkan untuk ngopi sejenak dengan temanku yang lain sembari menunggu temanku yang lain lagi untuk tumpangan.
“Droe neuh hana pakek helm, jadi menyoe tawoe payah tajak rot likot. Jino sering that razia,” ujar Muhadzier sedetik setelah pantatku di atas jok motornya. Aku hanya mengangguk tanpa kata. Setelah melewati jalanan yang sibuk, motor Muhadzier melaju pelan melewati lika liku jalan kampung Punge Blang Cut yang mengarah ke Jalan Cut Nyak Dhien. Dari sini motor tetap melaju pelan hingga sampailah kami ke tujuan.
Langkah Muhadzier lebih cepat, tatap matanya langsung ke arah kardus yang sedari beberapa waktu lalu sudah ia tunggu kedatangannya. Kardus itu masih di atas meja, karena aku lupa memindahkannya ke lantai dua. Tapi itu kardus masih aman, dan masih terbungkus tanpa cela. Belum satu tangan pun berani untuk membuka untuk sekedar tahu apa isinya. Jika saja ada yang nekad membuka, itu sama saja dengan mengajak perang secara terang-terangan. Dan itu fatal jika mengajak perang dengan seorang Muhadzier.
Tak mau berlama-lama. Muhadzier dengan teliti membuka kardus. Tidak butuh waktu lama, sepuluh detik kemudian kardus pun menganga, dan nampak lah seluruh isinya. Ada belasan buku tebal melebihi tebalnya kitab suci di dalam kardus. 12 buku bersampul hijau tua tersusun rapi di dalamnya. Ini novel ‘Kura-Kura Berjanggut’ semuanya pesanan orang, begitu kudengar dari si penerima kiriman. Dan semua akan segera dibagikan untuk si pemesan yang juga sudah tak sabar ingin membaca.
Nah, jauh di luar pekarangan Bivak Emperom, novel yang ambisius karya Azhari Aiyub yang ia tulis selama 12 tahun ini–begitu kata orang–sudah pun di ulas hingga di tingkat nasional. Bukan sekali, tapi sudah dua kali, dan boleh jadi akan ada kali-kali selanjutnya. Boleh jadi pula, ini novel akan diomongin di tingkat internasional. Mengingat ini novel yang tebalnya sembilan ratusan halaman lebih ini banyak memuat soal perilaku orang-orang Aceh di masa abad 16-an. Ini novel fiksi ilmiah memang tak habis dikupas dalam hitungan jam.
Tak hanya itu, dengarku dari Muhadzier yang gencar menjajakan novel ini, dan juga dari teman sejawat si penulis, bahwa novel ini termasuk dalam tujuh buku paling di cari tahun ini. Bahkan ini novel sengaja diulas di majalah Tempo. Kurasa semua pembaca berita faham, kalau ini majalah bukan kelas ‘kaleng-kaleng’, dan saat memilih topik untuk ditulis pun, tentunya bukan topik ‘kaleng-kaleng’. Menurutku ini prestasi besar bagi Azhari Aiyub selaku si-empunya karya, dan jika boleh ini juga menjadi titik balik bagi perkembangan dunia tulis menulis di Aceh. Khususnya dalam ber-novel ria.[]