Aku kerap memanfaatkan waktu luang untuk menelusuri jalan-jalan yang belum pernah kulintasi. Di manapun aku tinggal, kebiasaan itu tak bisa lekang. Memasuki jalan-jalan itu mengingatkanku pada lorong waktu. Atau mungkin lorong ruang. Kadang, di perkotaan yang sumpek dan ramai, kutemukan sebuah jalan sempit yang ketika kumasuki menyajikan pemandangan perkampungan.
Semacam senarai pandang yang membawaku ke masa kecil. Ke tumpukan jerami tempat aku berjumpalitan bersama kawan-kawan usai panen. Mencubit memorabilia ketika kami asyik memburu belalang untuk umpan burung peliharaan. Atau berebut layangan yang putus saat kami udarakan, melayang lepas menuju kebun tetangga, tersangkut di batang mangga di pekarangan rumah Wak Pangin.
Jalan-Jalan tersembunyi, bahkan mungkin terabai dalam rentang jelajah. Jalan-jalan yang tak masuk dalam lintas rutinitas harianku. Jalan-Jalan yang belum berisi kenangan, bahkan dengan bayanganku sendiri. Kutemukan beragam nuansa di jalan-jalan baru itu. Sesekali bersua nuansa Eropa, suatu ketika mendapati nuansa perkampungan dan terkadang bertemu nuansa perumahan minimalis. Saat beruntung, engkau akan menemukan sebentang jalan yang terlindung oleh kanopi Casuarina Equisetifolia, sebelum seorang bedebah bermodal stempel menebangnya dengan sebab keberlendiran otaknya.
Rasakan, di antara berjuta bising dan hingar kota, aku bersua kerindangan di tepi sebuah kanal. Meski tak berair sejernih sungai di kaki pegunungan, alirannya tetap tenang. Berhias dedaunan kering yang menghanyut ke hilir. Larik mentari sore menjadi bumbu tambahan yang kudapati bersama semilir hembus sang bayu. Meski sejenak, beban utang-piutang dari departemen perkreditan dalam otakku mendapat jeda-rehat.
Kuhentikan kendaraan di sebuah titik yang mewakili ruang atau waktu lain, yang pernah kureguk dalam hidup. Duduk sejenak, kusulutlah rokok sebatang untuk menyesap nikmat tersembunyi di antara banalnya suasana kota. Sebuah sudutnya menyajikan 2 lelaki yang tengah bermain catur. Sudut lain menampilkan kanak-kanak yang tengah beriring dengan sepeda. Juga tanpa penting untuk kupahami, seorang perempuan penjual jamu melintas di hadapan, sosok dengan senyum ramah yang tak semata karena ia sedang berdagang, saat mengendali kendaraan bernenekmoyang velocipede.
Saat menatap matanya, atau menatap mata para kanak-kanak bersepeda itu, aku tersenyum sendiri. Tanpa alasan pasti. Mungkin sebab ia memancarkan gelombang ramah-tamah yang melampaui pemahaman bahasa manapun. Bahasa kalbu yang begitu saja hadir antara aku dan dia yang tak bernama. Dia yang mewujud di alam definisi sebagai seorang perempuan bercelana kulod mengenakan jilbab merah yang terlindung oleh topi pet. Sosok yang tengah membonceng sebentuk botol dalam kotak. Botol-Botol sisa minuman berkarbonasi yang kini berisi cairan sambiloto, kencur, beras, temulawak, kunyit, jahe dan gula merah.
Sebentang jalan yang tak pernah kutelusuri sebelumnya, yang mempertemukanku dengan orang yang bukan siapa-siapa bagiku, tapi mampu membuat aku dan dia bertegur-sapa lewat tatap dan senyuman. Lewat bahasa yang cuma mampu terpahami dengan maqam dialog di level telepatik. Rentang perjalanan baru yang menjadi katalis antara aku dengan alam dan peng-alam-an baru. Juga katarsis termurah tanpa mesti meremukkan sesuatu untuk menyalurkan daya hancur. Sebentuk daya ledak yang akan meremukkanmu dari dalam saat tak terunjuk ke luar dari diri.
Maka, kutuailah senyum asing dari jalan baru, senyum dari orang yang tak kukenal yang kadang teruntukku, tapi kadang senyum yang terungkap untuk orang lain. Tiap senyum yang lepas dari luar pantau lensa tampak begitu tulus, secanggung apapun ia terentang di bibir pada wajah seseorang. Teruntuk siapapun ia dipersembahkan, senyum-senyum yang bagiku tak bernama. Jenis senyum yang selalu melibatkan binar mata saat mewarnai semesta. Senyum yang tak memaksa picingan netra untuk memalsukan ungkap sang rasa.
Jalan baru yang kerap menarikku dari kubangan hidup, mendorongku untuk bergerak dari jumudnya kebosanan yang telah berulangkali membuatku mati dalam kehidupan.