bubur kanji

Harlan

Strategi Berjualan Bubur Kanji Selama Ramadan

Bahkan, dalam urusan berjualan bubur kanji pun kita butuh strategi!

Sudah dua ramadan aku berprofesi sebagai penjual bubur kanji. Selain mencari penghasilan tambahan, aku sebenarnya mencoba menjadi orang Pidie yang sebenarnya: punya bakat dagang! Rupanya, tak begitu buruk juga. Memang, sejauh ini baru sebatas pedagang/penjual musiman, yaitu khusus berjualan selama ramadan.

Jujur saja, sebagai orang Pidie, aku sama sekali tidak mewarisi bakat dagang. Kedua orang tuaku bukan pedagang. Mereka hanya orang Pidie biasa-biasa saja. Di masa mudanya, ayahku senang merantau. “Bakat” itu yang mungkin aku warisi. Soalnya, aku paling senang bepergian ke suatu daerah. Seandainya rekeningku selalu penuh, mungkin saja aku akan lebih sering jalan-jalan ke luar daerah, daripada berpangku tangan dan menetap di suatu tempat. Namun, aku adalah perantau yang tahu jalan pulang.


Ramadan tahun ini, tantangan berjualan sedikit lebih longgar. Tak perlu banyak promosi sana-sini. Aku bahkan tidak sekencang tahun lalu mempromosikan menu jualan andalan kami: Bubur Kanji Khas Pidie. Sejak hari pertama ramadan, para pembeli memadati lapak kami di Jalan Ramasetia, Lampaseh Kota. Berdasarkan penilaian sementara, para pembeli bubur kanji kami pada ramadan tahun lalu, kembali menjadi pelanggan tetap. Wajah-wajah yang sama selalu kembali setiap dua hari sekali.

Aku tidak mengatakan bahwa ini hanya kebetulan semata. Tidak. Banyak orang mengatakan, dalam urusan bisnis tak ada faktor kebetulan melainkan butuh perencanaan yang matang. Misalnya, dari pilihan menu jualan. Dari banyak macam makanan yang bisa kita jual selama ramadan, kami (aku dan istri) memilih berjualan bubur kanji. Pertimbangannya, jual sesuatu yang khas tapi tak banyak jumlah penjualnya. Kami bisa saja memilih berjualan air tebu atau kelapa muda, dua jenis menu berbuka yang paling banyak diminati orang berpuasa. Menu yang sedikit bersaing hanyalah mie caluek dan pecal.


Nah, ketika akhirnya kami memutuskan berjualan bubur kanji maka itu sudah kami pikirkan masak-masak. Kami melakukan riset kecil-kecilan berupa mendeteksi di mana saja titik-titik orang berjualan kanji, bagaimana jumlah peminat dan tentu saja bagaimana peluangnya. Hal ini kami lakukan pada 3-4 ramadan sebelumnya. Maka, tanpa pikir panjang lagi, ramadan tahun lalu langsung kami terjun lapangan, dan berlanjut hingga ramadan tahun ini. Bagaimana prospeknya? Boleh kukatakan sedikit menggembirakan.

Lalu, bagaimana strategi kami menarik pelanggan?
Selain dalam bentuk promo di media sosial atau group WhatsApp, kami memilih berjualan di lokasi yang tepat. Kenapa ini penting? Kalian bisa menanyakan kepada para pengembang properti. Sesuatu yang terus diulang-ulang oleh mereka ketika mempromosikan properti adalah lokasi, lokasi, dan lokasi. Memilih tempat yang tetap adalah awal kesuksesan. Kami bersyukur punya lapak berjualan di depan toko seorang teman. Seperti nama toko itu, Bereh, nasib bisnis bubur kanji kami juga mengikuti nama merek toko itu: bereh!

Pada awal ramadan, kami sebenarnya sempat menambah satu lapak berjualan lagi yaitu di Neusu. Namun, setelah dua hari kami coba, peminatnya tidak seberapa. Lalu, kami sadar, lokasinya sedikit tidak pas, berada di bengkolan dan orang-orang agak kesulitan ketika harus berhenti membeli bubur kanji karena akan mengganggu para pengendara.


Di lokasi utama kami berjualan, kami memilih di jalur pulang, sementara lapak Neusu berada di jalur berangkat/pergi. Satu lapak sukses dan satunya lagi harus gulung lapak. Kenapa satu bisa berhasil dan lainnya gagal, penjelasannya sungguh terang. Banyak pemburu menu berbuka itu lebih senang melihat-lihat dulu jenis makanan apa yang dijual sepanjang jalan, dan mereka baru memutuskan menu apa yang bakal dibawa pulang itu ketika hendak pulang. Sebagai informasi, di jalur tempat kami berjualan terdapat dua lapak orang berjualan kanji, yang jarak antara satu lapak dengan lapak lainnya tidak sampai 50 meter. Dua lapak itu berada di jalur atau arah berangkat/pergi.

Apakah orang yang membeli di lapak kanji kami lebih banyak dari dua lapak yang berada di jalur berangkat? Aku jelas tidak dapat memperkirakan dengan pasti. Hanya saja, kami lebih sering pulang lebih awal tinimbang mereka. Artinya apa, orang-orang baru menentukan menu apa yang akan dibawa pulang adalah ketika hendak pulang! Ini memang bukan kesimpulan yang seratus persen benar. Tidak. Soal rezeki sudah diatur dengan sangat baik dan adil yang Tuhan yang Maha Kuasa.

Faktor apalagi yang menarik minat pelanggan untuk kembali membeli di tempat kita? Aku tidak akan mengatakan bahwa bubur masakan kami lebih enak dan cocok di lidah dibandingkan bubur kanji yang dijual oleh penjual lain. Soal selera itu sangat subjektif dan hanya mereka para pencecap saja yang tahu bagaimana membedakan rasa suatu makanan. Tapi, usahakan agar citarasa makanan yang kita jual benar-benar istimewa. Selaku penjual kita harus suka dulu dengan makanan yang kita jual, dan mungkin saja orang lain juga akan menyukainya. Citarasa itu harus tetap dipertahankan. Percayalah, kalau makanan yang kita jual itu cocok di lidah mereka, besok-besoknya mereka para pembeli pasti akan kembali lagi.


Terakhir, seperti aku bilang di atas, dalam berjualan pun kita butuh strategi. Maka, strategi yang aku pilih adalah biarlah istriku yang selalu setia berada di lapak jualan dan melayani pelanggan. Sejauh ini sangat efektif. Setidaknya, hingga menjelang akhir ramadan, bubur kanji yang kami jual selalu tandas. Setiap hari ada satu-dua pembeli yang tidak kebagian kanji! Yakinlah, besok mereka akan kembali ke lapak jualan kita lebih cepat dibanding pembeli lain. []


Leave a Comment