Aku belum tidur. Pagi ini, tak terkejut kulihat mentari hadir. Cuma seperti kemarin dan ribuan kemarin yang telah berlalu. Sekonyong otakku kaget saat memikirkan ketidakkagetanku soal rutinitas mentari. Mestinya aku kaget mendapati nyawa masih bersatu dengan jasad, badanku masih mengandung hayat. Semestinya aku kaget, karena keterkejutan adalah wujud lain dari syukur. Mestinya aku kaget, sebab ‘masih hidup’ adalah sebuah kejutan besar, hadiah paling berarti dan nikmat yang tak terkira, sebesar apapun duka yang sedang kualami.
Mungkin itu sebab terkadang bosan menyergap. Ketika aku terlalu menganggap hidup sebagai sesuatu yang biasa dan sudah demikian semestinya. Padahal, hidup berisi segala penyebab mati; Semesta adalah ruang tiap kematian bertempat; Peristiwa berisi sebab yang dapat mencabut ‘hidup’ dari segala yang bernyawa. Maksudku, alam kehidupan menyediakan segala penyebab kematian, sebab orang bisa mati dengan sebab apapun. Terbatuk, tertabrak, tertembak, terjatuh, terperangkap, tertusuk, tertikam…
Sementara semesta yang menjadi ruang kehidupan tak terelak dari tugas memberi ruang penyelenggaraan peristiwa kematian, sesibuk apapun peri-kehidupan sedang berlangsung. Mati tak mau menunggu ketika waktu telah tiba. Tak bisa ada tambahan tempo atau sekedar injury-time semata. Juga aktivitas makhluk hidup yang membentuk peristiwa, tak luput dari peran sebagai penyelenggara kematian. Segala yang hidup bisa mati dengan sebab peristiwa apapun, entah sedang bersenggama, tertawa, mencuci, merampok, mencangkul, menjahit, menggaruk dan segala macam yang masuk dalam golongan peristiwa dan aktivitas.
Jadi, dari segala sebab mati yang mungkin terjadi, celaka betul pikiranku yang selalu menganggap terbitnya matahari sebagai peristiwa biasa. Bukankan semestinya aku mesti bersyukur masih mendapat anugerah kehidupan hingga hari ini?! Dengan segala tingkah-polah pengguna jalan, temperamenku yang labil saat berhadapan dengan para pengundang celaka di jalan-raya, juga kecerobohan yang kerap kulakukan, semestinya aku beranggapan bahwa tiap hari adalah keajaiban. Bahkan mungkin tiap detik, tiap tarikan napas, tiap degub jantung dan denyut nadi mesti kusadari sebagai keajaiban.
Sudah semestinyalah aku mencambuk diri hari ini untuk menyadarkan pikiran sesat yang menganggap bahwa setiap hari itu biasa saja adanya. Betapa kurangnya daya-serapku terhadap makna keberadaan. Belum lagi soal kebiasaanku menyiakan keberadaan. Tak ada nikmat yang melebihi keberadaan. Meski saat menjadi ‘ada’ dari ‘tiada’ tiap diri mesti merasakan peliknya masalah hidup, meski tiap hidup dalam diri mesti kerap berhadapan dengan derita, meski tiap derita yang teralami meninggalkan jejak luka di relung batin terdalam yang tak bakal sirna hingga hari kebangkitan.
Makin merasa berdosa saja aku dengan segala tugas dalam hakekat keberadaanku. Apa yang sudah kulakukan untuk sesama ciptaan Ilahi?!
Jangankan untuk sesama, untuk dirikupun aku belum melakukan sesuatu yang layak. Aduh diri…
Begitu lapang terasa saat organ respirasi, ekskresi, sekresi dan reproduksi telah menjalankan fungsi dan tugas tanpa gangguan, tanpa sumbatan di tiap salurannya. Terlalu banyak yang perlu kupelajari sehingga tak perlu menghabiskan terlalu banyak waktu untuk bersedih dan meratap. Kupikir, bersedih dan meratap tetap perlu untuk menyeimbangkan gejolak hormonal yang timbul dari pergolakan rasa. Juga supaya orang lain tak menganggap diri ini tak berhati sebab tak berduka atas dera derita. Biar kaya’ orang-orang…
Tapi kalau terlalu berendam dalam duka, tidakkah kita serupa dengan sekubang air?!
Betapa bumi, bahkan semesta, tak lebih dari sebuah padang permainan umat manusia. Permainan yang menjadikan tiap diri menjalankan peran sesuai dengan minat dan bakat masing-masing. Bahkan, tak berlandas minat dan bakatpun boleh.
Betapa hidup ini berarti. Betapa tiap sadar atas hidup akan menjadikan bangun pagi sebagai momentum untuk merenungi sebuah keajaiban. Menyadari masih ada ruang bagi harap dan cita. Sebab, bisa saja, pada suatu pagi, satu di antara kita tak bangkit lagi dari kasur dan tiba-tiba sudah berada di liang kubur.
Image Source: