Sebab tak berwenang memberi pahala, layaklah kiranya kuungkap terimakasih kepada kawan-kawan FKIP Penjas beberapa ribu hari yang lalu. Kalian sungguh mulia menggelar senam berlatar musik Poco-Poco lantunan Yopie Latul. Acara senam pagi yang kalian gelar tiap Minggu pagi di Lapangan Tugu Darussalam, tempat setoreh tandatangan Proklamator Kemerdekaan Indonesia tertoreh. Di atas sebuah prasasti yang kuingat ujungnya saja, “…Darussalam menuju pelaksanaan cita-cita!”
Tau-kah kalian, di antara para nocturnal di BEM FH Unsyiah, Zulfan adalah orang pertama yang mengetahui eksistensi senam di pagi Minggu itu. Ia yang menyeretku saat kantuk mulai menyergap, kadang akibat begadang melantunkan tembang Cinta, atau sekedar melipat waktu dengan permainan FreeCell di pesawat komputer meja milik persekutuan mahasiswa Kampus Merah. “Ayo… nanti kau pasti suka,” ujarnya seperti biasa. Memaksaku tanpa memberi penjelasan rinci mengenai sumber ajakannya. Ia manusia yang paling malas memberi penjelasan yang kukenal.
Maka… kuturuti paksaannya. Ya… paksaan. Sebab, permintaannya telah kutolak. Kuturuti langkahnya melewati bangunan-bangunan sisa masa awal pendirian kampus yang gentengnya telah berlumut, kulewati rimbunan angsana dan pohon tanjung, juga belasan batang pohon jati yang masih kanak-kanak di antara perpustakaan Unsyiah dengan jalan di sisi Selatan Masjid Jami’ Kampus.
Saat langkah kami telah mencapai kantin Kasadar, lamat-lamat kudengar suara Yopie Latul menembangkan alunan Poco-Poco dengan langgam khas kawasan Indonesia Timur. Notasi yang maju-mundur untuk melaju ke titik refrain. “Suara apa itu, Genk? Ada acara apa?” tanyaku penasaran. “Ko… ko… tengok sen… sen… sendiri aja nanti!” ujarnya tersendat. Itu tanda ia sedang excited. Aku yakin bakal mengalami sensasi serupa saat tiba di sumber penasaran nanti.
Di depan perpustakaan sudah mulai kulihat sumber rasa penasaranku. Sekerumunan orang berdiri, berbaris, berputar, bergoyang dalam rempak beriring lagu Poco-Poco. Suara genit Yopie Latul senyawa dengan musikalitas dan gerak mereka. Meski tak serentak, sungguh harmonis. Dalam hati aku bersyukur telah mengikuti ajakan makhluk aneh yang menyeretku kemari. Luarbiasa. Kantukku segera sirna dengan pemandangan di hadapanku ini.
Para pesenam kebanyakan mahasiswi, ada juga mahasiswa yang berpartisipasi. Tapi jumlah mahasiswi sungguh lebih dominan. Jika saat itu ada tawuran antar jenis kelamin, aku yakin kaum lelaki akan bertekuk lutut dan berjanji mencabut sebagian lirik lagu Sabda Alam karya Ismail Marzuki.
Amboy… perempuan-perempuan di puncak ranum dan mengkal itu… Sungguh menggambarkan makna kata Poco-Poco yang berarti sintal. Lagu karya Arie Sapulette yang sukses dalam lantunan vokal sengau Yopie Latul ditingkahi musik bernuansa genit-genit manja.
Begitu menggemaskan mereka tanpa polesan make-up. Aku yakin kebanyakan dari mereka belum mandi. Dan… oh… sungguh pada penggal-penggal detik macam inilah aku bisa menemukan kesejatian paras tiap perempuan. Ketika tiada hijab antara tatapku dengan kulit pipi mereka, juga juntai rambut yang sesekali tersibak angin atau tersingkap gerak dalam tuntunan musik dan lagu.
Zulfan mengeluarkan sesuatu dari plastik kresek di tangannya. Benda yang tak kusadari ada di situ. Ternyata ia telah menyiapkan kopi dan rokok untuk melengkapi tontonan pagi bergelimang indah ini. Mentari hangat, tak terik larik sinarnya. Ia mengangsurkan AQUA gelas ke arahku. Aku paham maksudnya. Kurobek plastik yang menutupi permukaannya, lantas menenggak habis isinya. Kukembalikan benda berbentuk gelas itu kepada Zulfan. Ia mengisinya dengan kopi dari tuangan dalam bungkusan plastik, tepat saat kusulut kretek pertama. Sungguh, aku akan mencandui pagi macam ini. Jika tak sanggup bangun pagi, minggu depan dan ratusan Minggu ke depan aku akan begadang menanti kehadiran momentum semadu ini.
Jenis kelezatan semesta yang mesti masuk dalam daftar menu-tetap santapan batin. Tempat mataku bisa berpacak mencari bait-bait senyum di wajah belum berpoles celak dan pupur. Ketika cuma ada tatapku dan permukaan kulitnya dalam sebentang jarak pandang. Ketika semu merah menghadirkan serekah ranum di puncak tulang pipi, bersama juntai rambut nan tertiup angin atau sekedar tersingkap gerak.
PS: Hingga tulisan ini kuterbitkan, belum kuketahui kelestarian senam serupa tiap Minggu pagi di Lapangan Tugu Darussalam…
Image Source: