ACEHPUNGO.COM – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring mengartikan pandir dengan bebal; bodoh. Namun, menganggap seorang pandir bodoh dan bebal tentu saja salah. Di mata kita mungkin dia seorang bebal dan bodoh, tapi dalam kondisi-kondisi tertentu boleh jadi mereka tidaklah bodoh. Hanya persepsi kita saja yang mengatakan mereka itu bodoh dan bebal.
Memahami seorang pandir, kita mestilah ‘melihat ke sisi yang berlawanan’ sampai sejauh-jauhnya hingga membawa kita masuk ke wilayah dan cara berpikir seorang pandir. Dengan demikian, setidaknya, kita lebih bisa memahami bagaimana hidup seorang yang disebut pandir itu.
Dan, tanpa kita sadari, sebenarnya di lingkaran kita banyak terdapat orang pandir. Dia bisa hadir di mana saja: di Gedung Senayan yang megah; di group WhatsApp yang anggotanya banyak bergelar Doktor; atau bahkan di jaringan media sosial yang kita miliki semisal Facebook atau Twitter. Mereka kerap berbicara, membagikan dan memperdebatkan sesuatu yang tidak benar-benar penting.
Bagaimana caranya kita menandai bahwa mereka-mereka itu adalah orang pandir? Gampang saja. Pekerjaan seorang pandir biasanya adalah memuji-muji hal kecil; suka mempermainkan sesuatu yang sebenarnya sakral; dan senang mengolok-olok persepsi yang lazim tentang suatu situasi.
Seperti halnya sebuah penyakit membuat kita begitu menghargai hidup sehat, begitu pula halnya keberadaan orang pandir. Mereka membuat kita sadar tentang kebiasaan-kebiasaan berpikir dan menerima hal-hal yang sudah ada ‘dari sononya’ tanpa mempertanyakan lagi. Orang pandir yang menurut KBBI itu bebal dan bodoh, seringkali justru membantu kita memikirkan ulang apa yang sebelumnya kita terima secara given.
Tentang hal ini, ada sebuah contoh bagus dari Till Eulengspiegel, yang namanya membuat kita teringat pada sebuah media besar di Jerman itu. Eulengspiegel adalah seorang petani-pesulap yang hidup di Jerman pada abad keempat belas. Ia terkenal karena tipuan-tipuannya yang menyegarkan namun menjadi sumber banyak cerita rakyat dan kesusasteraan. Boleh jadi, karena itulah namanya diabadikan untuk merek sebuah media berpengaruh di Jerman (soal ini harap kalian periksa lagi, karena saya sendiri tidak yakin dengan apa yang sudah saya simpulkan ini).
Apa yang menarik dari seorang Till Eulengspiegel? Dalam sebuah cerita yang saya baca, dikisahkan: Suatu hari ketika Till sedang berjalan di pegunungan, ia selalu menangis ketika menuruni bukit, dan kemudian tertawa lagi ketika mulai berjalan mendaki.
Seorang yang bersamanya dalam perjalanan yang tidak sedramatis ketika Brienne mengantar Jamie Lannister ke King Landing, mempertanyakan perilaku aneh yang ditunjukkan oleh Till Eulengspiegel itu.
“Spiegel, kenapa Anda selalu menangis saat menuruni bukit, tapi selalu tertawa ketika mulai berjalan menanjak?” tanya teman seperjalanannya itu.
Eulengspiegel menyeringai tapi sama sekali tidak menganggap pertanyaan temannya itu sebuah bunyi terkutuk yang tidak perlu dihormati dengan memberikan jawaban. Till tidak seperti itu.
“Tahukah engkau wahai anak muda! Saat menuruni bukit saya membayangkan tentang usaha berat ketika mendaki nantinya, dan itu terang saja membuat saya sedih. Itulah kenapa saya menangis,” jawabnya seketika, sangat khas seorang pandir.
“Lalu, kenapa kau tertawa ketika justru mendaki, padahal bebannya lebih berat?” timpal si anak muda malang.
“Ketika berjalan mendaki, saya mengantisipasi kenikmatan perjalanan menurun yang ringan. Itulah yang membuat saya tertawa,” pungkasnya.
Dalam kehidupan nyata, kita tentu saja banyak sekali berjumpa dengan orang yang menyerupai Till Eulengspiegel. Bahkan, kalau kalian lebih peka, para peminta-minta di di kota gemilang banyak yang berpikir menyerupai Eulengspiegel.
Saya ingat dulu pernah ada seorang pengunjung warung kopi bertanya kepada seorang peminta sedekah, “kenapa kau menjadi peminta sedekah?” yang kemudian dijawab dengan lucunya oleh sang peminta itu: “kiban hanjuet keu ureueng mita seudekah, jamuen kutes tandra tapi wate lewat ka polwan!”
Nyan ban!
Image: ancient-origins.net