“Kutes Tandra, Lewat Polwan”

Harlan

ACEHPUNGO.COM – Sore itu, masih seperti sore sebelumnya. Bedanya, sore itu jadi berbeda ketika seorang pria ubanan memapah anak muda, yang kami taksir berusia 34 tahun. Si anak muda itu jelas bukan pria yang malang, meski kedua matanya tidak lagi berfungsi dengan benar. Tuhan sering-kali menampakkan kebesaranNya melalui hal-hal yang tak terduga.

Sekali pun matanya tak berfungsi dengan benar, itulah bentuk kelebihan yang sebenarnya Tuhan berikan untuk dia. Dengan modal mata yang tak sempurna itu, dia menggeluti dunia peminta-minta. Menyambangi lebih selusin warung kopi setiap harinya, seperti sudah menjadi garis nasibnya.

Tapi, seperti kami amati selama ini, dia sama sekali tak menyerupai sifat seorang pengemis berjenggot yang biasanya selalu memaksa pengunjung warung kopi untuk memberi sedekah padanya, yang sering kali dia merasa tak cukup jika nilai yang diberikan terlalu sedikit. Lebih-lebih jika si pemberi itu mengenakan baju dinas, yang dia pikir lebih banyak menghabiskan waktu di warung kopi ketimbang mempreteli surat-surat di kantor tempatnya bekerja.

Seperti umumnya warga kota Madani yang kerap menyisakan uang Rp1000 hanya untuk biaya parkir, memberi sedekah walau seribu perak sama beratnya dengan membayar parkir. Pasalnya, di kota Madani, kita akan selalu berhadapan dengan tukang parkir, sekali pun jarum jam sudah menunjuk pada angka 02.00 dini hari. Apakah uang parkir yang dikutip hingga larut malam itu masuk ke kas daerah atau kantong sendiri, kita tak pernah tahu. Sangat jarang kami memeriksa hasil pendapatan asli daerah, yang konon saban tahun diumumkan ke publik. Tapi sudahlah, di kota Bunda yang super-madani ini, penyelewangan demikian pasti tak mungkin terjadi. Jika pun ada, itu hanya ulah oknum saja.

Oh ya, kembali lagi ke soal pengemis tadi. Awalnya seperti biasa, tidak ada yang begitu menaruh perhatian pada sang pengemis itu, hingga seorang pengunjung mengajukan sebuah pertanyaan serius tapi bukan bermaksud serius pada pengemis saat mendatangi mejanya. “Pakon droeneuh juet keu pengemis?”. Kami yang berada tak begitu jauh dari meja itu, tak kalah kagetnya, seperti pengunjung lain. Rasa kaget itu berubah menjadi gelak tawa ketika si pengemis tanpa malu-malu menjawab, yang kami yakini, dia pun tak bermaksud serius seperti si penanya tadi.

“Kiban hanjuet keu pengemis, awai kutes tandra tapi lewat keu polwan. Pane kujak tem lon.” Suara si pengemis sedikit meninggi. Bermaksud iseng, si penanya pun berusaha memeriksa tas yang dibawa pengemis, tapi pemuda malang yang kedua matanya tak berfungsi itu lari terbirit-birit, kali ini bukan lagi pria ubanan yang menuntunnya. Lalu, seisi pengunjung warung pun tak mampu menyembunyikan tawanya. Ada-ada saja![]

Catatan:
– “Pakon droeneuh juet keu pengemis?” (kenapa kamu menjadi pengemis?)
– “Kiban hanjuet keu pengemis, awai kutes tandra tapi lewat keu polwan. Pane kujak tem lon.” (Bagaimana tak jadi pengemis, saya lamar tentara tapi yang lulus Polwan. Jelas tak mau saya)


3 thoughts on ““Kutes Tandra, Lewat Polwan””

  1. Saya suka bagian ini “Apakah uang parkir yang dikutip hingga larut malam itu masuk ke kas daerah atau kantong sendiri, kita tak pernah tahu. Sangat jarang kami memeriksa hasil pendapatan asli daerah, yang konon saban tahun diumumkan ke publik. Tapi sudahlah, di kota Bunda yang super-madani ini, penyelewangan demikian pasti tak mungkin terjadi. Jika pun ada, itu hanya ulah oknum saja.” Sederhana tapi menampar

    Reply

Leave a Comment