Banda Aceh – Anggota MPR RI, H.T. Bachrum Manyak, meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat untuk mengkaji ulang regulasi Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) di Aceh. Bachrum beralasan aturan yang digunakan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh terkesan lemah dan multitafsir.
Pernyataan itu disampaikan Bachrum saat menjadi pemateri pada Focus Group Dicussion (FGD) Empat Pilar Kehidupan Bernegara yang digelar di The Pade Hotel, Banda Aceh, Sabtu (15/10). FGD dua hari bertema “Review terhadap Sistem dan Implementasi Otonomi Khusus di Indonesia” dilaksanakan MPR RI bekerjasama dengan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah).
“KPU Pusat selaku atasan langsung KIP agar dapat meninjau kembali tahapan Pemilukada yang sedang dijalankan. KPU Pusat perlu mempelajari secara teliti dan detil apakah syarat-syarat melaksanakan Pemilukada di Aceh seperti diamanatkan dalam Undang-undang No 11 tahun 2005 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah terpenuhi atau belum,” kata Bachrum di hadapan sekitar 100-an peserta FGD.
KPU juga diminta agar melihat kembali apakah qanun yang digunakan KIP untuk menetapkan tahapan Pemilukada masih relevan dan memungkinkan digunakan dengan kondisi Aceh saat ini, mengingat sejumlah pasal dalam Qanun Nomor 7 tahun 2006 bertentangan dengan aturan hukum lebih tinggi.
“Melihat kisruh yang terjadi di Aceh saat ini, KPU patut kiranya melakukan peninjauan kembali proses tahapan Pemilukada yang ditetapkan KIP karena belum ada regulasi yang jelas. Qanun yang digunakan KIP terkesan lemah dan multitafsir,” ungkap Bachrum, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh.
Dia juga menyatakan, ada perangkat pendukung Pemilukada yang diatur dalam UUPA, seperti perekrutan anggota Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) yang seharusnya menjadi kewenangan DPRA dan DPRK. Tetapi, fakta yang terjadi perekrutan anggota Panwaslu dilakukan oleh Bawaslu.
“Sebenarnya Bawaslu hanya mensahkan dan melantik anggota Panwaslu yang telah direkrut oleh DPRA dan DPRK. Langkah Bawaslu merekrut Panwaslu merupakan pengangkangan terhadap lembaga DPRA dan DPRK di Aceh serta telah melanggar UU PA,” tegasnya.
Berdasarkan masukan dari berbagai kalangan di Aceh, Bachrum menyatakan, aturan pelaksana Pemilukada yang menjadi pedoman KIP Aceh dianggap lemah, karena Qanun Nomor 7 tahun 2006 kurang cocok dilaksanakan seiring telah terjadi perubahan sejumlah peraturan perundang-undangan di tingkat nasional tentang Pemilukada.
“Sebagai contoh adalah apabila ada terjadi sengketa hasil Pemilukada harus diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi, sementara dalam qanun itu masih diselesaikan oleh Mahkamah Agung,” katanya.
Kelemahan lain dalam Qanun No 7 tahun 2006, jelas Bachrum, menyangkut keanggotaan Panwaslu, dimana di dalamnya disebutkan berasal dari unsur kepolisian, kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat yang independen.
“Lalu, pertanyaannya apakah anggota Panwaslu yang telah direkrut Bawaslu beberapa waktu lalu sudah memenuhi unsur seperti yang diamanatkan dalam Qanun Nomor 7 tahun 2006,” katanya.
Bachrum mengharapkan agar jangan ada kesan pelaksanaan Pemilukada di Aceh “dipaksakan” dengan menggunakan regulasi yang lemah. Untuk itu, dia mengajak semua pihak mengedepankan kemaslahatan masyarakat Aceh demi kemajuan dan kemakmuran daerah ini. []