Gajah dan Kejayaan Aceh Masa Lalu

Zamzami Ali

Senin, 6 Agustus 2018 kemarin, empat ekor gajah Sumatera mengikuti parade atau pawai budaya dalam rangka memeriahkan acara Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) Ke VII. Pagelaran seni dan budaya terbesar di Aceh ini berlangusng mulai dari 5 hingga 15 Agustus 2018 mendatang setelah sebelumnya dibuka secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhadjir Effendy di Stadion Harapan Bangsa, Lhoong Raya, Banda Aceh pada Minggu (5/8) malam.

Pawai budaya yang digelar kemarin benar-benar luar bisa dan sangat spektakuler. Puluhan pria berjalan beriringan dengan sangat rapi di barisan paling depan. Puluhan pria ini berperan sebagai prajurit Kesultanan Aceh, dengan membawa pedang lengkap dengan pakaian kebesaran yang dipakai saat upacara-upacara penting. Di belakangnya, tiga ekor gajah yang telah dihias ditunggangi oleh Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Abdul Hafil Fuddin dan Wakapolda Aceh Brigjen Pol Supriyanto Tarah.

Foto: Zamzami Ali

Pawai budaya tersebut juga menampilkan kontingen dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh. Seribuan peserta semuanya menampilkan atraksi budaya dan kesenian khas dari wilayahnya masing-masing. Ragam pertunjukan tradisional, baju adat dan hasil alam yang direfleksikan oleh para peserta benar-benar memukau warga mulai dari lokasi start dari Lapangan Blangpadang – Museum Tsunami Aceh – Simpang Jam – Pendopo Gubernur Aceh – Simpang Kodim – Masjid Raya Baiturrahman dan finish kembali di Lapangan Blangpadang.

Selain tiga ekor gajah yang tampil di awal, seekor gajah yang telah dihias menyerupai gajah putih juga ditampilkan oleh kontingen kabupaten Aceh Tengah. Pertunjukan gajah putih ini kental dengan nilai sejarah lantaran gajah putih di masa lalu pernah menjadi simbol kejayaan dari Kerajaan Linge di wilayah tengah Aceh. Penampilan empat ekor gajah tersebut saja sudah membuat kita merasa takjub, bagaimana di masa lalu, dimana Kesultanan Aceh Darussalam pada masa kejayaannya pernah memiliki ribuan armada gajah tempur. Luar biasa bukan?

Foto: Zamzami Ali

Gajah Sumatera atau Elephas Maximus Sumatranus yang memenuhi belantara rimba Aceh, memang pernah menjadi simbol keagungan Aceh. Gajah di masa llalu merupakan Tidak berlebihan memang, mengingat sejumlah pemimpin di beberapa kerajaan yang ada di Aceh, menjadikan gajah sebagai tunggangan atau kendaraan kebesaran resmi milik raja atau sultan.

Ibnu Batutah pernah memberikan keterangan mengenai gajah dari Samudera Pasai pada 1345. Gajah jantan yang terbesar biasanya ditunggangi oleh sultan, sedangkan gajah-gajah lainnya termasuk kedalam armada perang dan disebutkan berjumlah sekitar 300 ekor. Bayangkan, saat ini di tahun 2018, populasi gajah yang tersisa di hutan Aceh diyakini oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh hanya berjumlah sekitar 500 ekor saja dari jumlah keseluruhan sekitar 1.500 ekor di seluruh Sumatera.

Foto: Zamzami Ali

Awal abad ke 16 saat Kesultanan Aceh Darussalam berdiri, gajah tetap memiliki status yang sama, yakni sebagai kendaraan resmi sang sultan dan gajah juga menjadi bagian dari armada perang. Gajah diperlakukan dengan sangat baik. Dahulu, gajah diburu untuk dijinakkan agar bisa bekerjasama serta bersahabat dengan manusia. Berbeda dengan kenyataan saat ini, dimana gajah diburu untuk dibunuh dan diambil gadingnya. Sebagian masyarakat bahkan sudah memusuhi gajah karena dianggap hama atau musuh karena konflik memperebutkan area atau lahan.

Saudagar asal Perancis, Augustin de Beaulieu dalam catatannya yang pernah dimuat di Sumatera Tempo Doeloe menyebutkan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam di masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, memiliki 900 ekor gajah tempur. Hal ini membuat Kesultanan Aceh Darussalam tidak perlu membangun benteng kota karena gajah-gajah petarung itu dapat melindungi kota dari ancaman serta serangan musuh.

Foto: Zamzami Ali

Aceh memang penuh dengan memori kejayaan di masa lalu, menyenangkan bisa memiliki sejarah bangsa yang demikian besar. Jujur, saya bangga tapi juga sedih jika membayangkan keadaan dan kondisi yang dialamai bangsa sekarang. Ah, sudahlah tak perlu diperpanjang. Hehehehe..

Leave a Comment