Di sisi kiri rumahnya yang sudah disulap sebagai dapur cadangan, wanita paruh baya itu tampak sibuk. Dia terlihat asik mengatur posisi benda yang dibalut dengan daun pisang menyerupai pulut itu di atas pemanggang seukuran 1×1 meter.
Tak jauh dari alat pemanggang itu, api dari pembakaran tempurung kelapa menyala-nyala. Seakan tidak peduli dengan api, wanita berusia 50-an itu menggeser-geser posisi benda yang dibalut dengan daun pisang itu menjadi rapat. Kini, benda itu sudah tersusun rapi dan rapat di atas pemanggang. Warna hijau daun pisang muda tampak kontras dengan pemanggang.
Wanita itu, Tihawa. Sejak lima tahun lalu ia menjalani aktivitas tersebut saban sore. Kegiatan itu kadang dibantu oleh anaknya yang baru pulang dari Malaysia. Namun, aku lebih sering melihat wanita yang kabarnya sudah bercerai dari suaminya itu melakukan semuanya sendirian. “Lagee nyoe keuh buet kamoe di Gampong,” katanya.
Dulu, ketika aku masih kecil, dia bersama suaminya menjadi pembeli udang dan kepiting (agen penampung) dari warga dan para nelayan tambak. Sejak produksi udang di tambak berkurang, Tihawa beralih profesi dengan membuka kedai kopi kampung. Saat itu, hanya ada dua warung kopi di kampung yang pernah menjadi tempat peristirahatan Teungku Abdullah Syafei. Satu milik Tihawa, dan satu lagi Syik Lah.
Sejak lima tahun terakhir, Tihawa menekuni profesi sebagai produsen Meuloh Teupeh (atau meuloh teupeh-peh), yaitu olahan ikan bandeng yang menyerupai bandeng presto. Benda yang dibungkus dengan daun pisang menyerupai ikan pepes itu dan diatur rapi di atas pemanggang adalah meuloh teupeh. Kegiatan memanggang itu bagian akhir dari proses pengelohan meuloh teupeh agar bisa dimakan.
Model pengelohan ikan bandeng seperti ini hanya ada di Mukim Trueng Campli, khususnya di Gampong Ukee dan Kumbang. Dan, meuloh teupeh sudah menjadi hidangan istimewa tiap kali ada kenduri di Trueng Campli.
Muloh teupeh terkenal karena rasanya yang lezat. Ia bisa dimakan sebagai lauk nasi maupun dimakan utuh sebagai penganan menu utama. Meski terkenal dengan meuloh teupeh-nya, tidak saban waktu kuliner keuneubah indatu ini tersedia. Orang hanya akan mengolahnya ketika ada kenduri-kenduri besar seperti kenduri maulid, sunat rasul dan pesta perkawinan. Hanya ada satu-dua keluarga yang mengolah meuloh teupeh seperti yang dilakukan oleh Tihawa. Meuloh itu dijualnya secara berkeliling ke gampong tetangga.
“Untuk seekor ikan dalam balutan ukuran sedang saya jual Rp20.000,” kata Tihawa.
Proses Peh Meuloh
Pengolahan meuloh teupeh ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Bandeng segar yang baru dipanen dari tambak dibersihkan sisiknya. Lalu, ikan yang sudah bersih itu dipukul-pukul menggunakan bagian pisau yang tumpul. Selanjutnya ditumbuk-tumbuk dengan gagang pisau agar lebih merata. Seketika, bandeng yang tadinya keras menjadi lembek karena tulang-tulangnya sudah remuk.
Untuk menghancurkan bandeng dalam jumlah besar, biasanya sebagai hidangan kenduri, masyarakat menggunakan besi seukuran telunjuk orang dewasa. Bandeng-bandeng itu dipukul-pukul dengan lembut, hingga seluruh dagingnya hancur dan lembek.
Sekalipun daging ikan bandeng itu hancur sedemikian rupa, namun kulitnya tetap utuh. Sekilas, ikan itu tampak masih sempurna. Kulit bandeng itu dibelah dari sisi sirip bagian atas, dan daging yang sudah hancur dan terburai itu dikeluarkan pelan-pelan. Usus, hati, dan kumpulan darah yang menggumpal itu dibuang, sementara daging ikan dan tulang-tulangnya disatukan dalam wajan atau belanga.
Sementara kulit-kulit ikan itu ditaruh di sebuah wayan, dan tidak diapa-apakan: tidak dikasih bumbu atau garam. Daging dan tulang-belulang ikan yang sudah hancur itu dicampur dengan bumbu masak yang sangat kaya rempah-rempah di dalam belanga, dan dipanaskan. Saat daging sudah setengah matang, api di perapian dimatikan. Setelah dingin, semua tulang yang tadi ikut dipanaskan bersama daging, kini dibuang menggunakan garpu. Proses pembuangan tulang-belulang ini butuh waktu lama. Biasanya ada sekelompok orang duduk melingkar mengelilingi tempayan yang berisi daging bandeng matang, dan mulailah mereka memisahkan tulang dari daging ikan.
Selanjuynya, setelah daging bandeng terbebas dari tulang, semua daging itu dikumpulkan kembali dan dimasukkan lagi ke dalam kulit-kulitnya yang tadi ditaruh dalam sebuah wayan. Kini, ikan bandeng itu tampak menyerupai ikan-ikan bandeng utuh. Setelah semua kulit bandeng terisi, mulailah tubuh ikan itu dibalut dengan daun pisang hingga beberapa lapis. Satu persatu ikan yang sudah dibalut itu diletakkan di atas pemanggang seperti yang dilakukan oleh Tihawa.
Untuk menjaga agar ikan itu tetap gurih, ikan diletakkan di atas pemanggang yang bara apinya terbuat dari tempurung kelapa. Asap yang ditimbulkannya juga mengeluarkan bau sedap dan gurih. Dari jauh kita bisa mencium aroma ikan yang sudah matang itu. Itu tandanya, ikan tersebut siap dihidangkan.
Cara penyajiannya sangat sederhana, balutan daun pisang yang sudah rapuh dan kehitam-hitaman itu dibuang, lalu tubuh ikan bandeng tersebut dipotong-potong dengan ukuran sedikit lebih besar dari potongan-potongan ikan bandeng goreng dan lalu dihidangkan dalam piring-piring ukuran sedang.
Sampai di sini ada dua kegiatan utama yang dilakukan. Proses pembersihan ikan sampai daging ikan dimasukkan kembali ke dalam kulitnya itu disebut dengan peh meuloh. Sementara ikan yang dipotong kecil-kecil dan siap dihidangkan itu disebut meuloh teupeh (atau ada juga yang menyebutnya meuloh teupeh-peh).
Proses pengolahan meuloh teupeh yang memakan waktu lama membuat kuliner ini istimewa. “Peuneugot haloh peunajoh gasa.” Begitulah orang di kampung biasanya meringkas proses pembuatan meuloh teupeh ini dalam sebuah istilah, yang kini dipelesetkan menjadi “peuneugot haloh peunajoh raja.” Itulah asal muasal kenapa meuloh teupeh disebut peunajoh raja.
Anekdot
Meuloh teupeh ini sangat terkenal di kalangan pegawai negeri di Kota Sigli. Kuliner khas Trueng Campli ini dianggap berbeda dengan bandeng presto yang dijual di restoran. Meuloh teupeh yang masak dengan bumbu masak daging putih itu kaya akan rempah-rempah, dan rasanya cocok di lidah.
Saking terkenalnya meuloh teupeh sampai-sampai muncul sebuah anekdot. Misalnya, suatu hari seorang kepala di sebuah kantor dinas kabupaten mengajak paras tafnya menghadiri sebuah kenduri.
“Uroe nyoe tanyoe na undangan pajoh kenduri,” kata kepala. Awalnya, beberapa staf menolak dengan halus, dengan alasan macam-macam.
“Pat kenduri, pak?” tanya seorang staf. Ketika sang kepala memberi tahu bahwa lokasi kenduri itu di Glumpang Baro, tepatnya di Mukim Trueng Campli, maka yang sebelumnya menolak segera meralat keputusannya.
“Paih that, Pak. Ka meutumee pajoh meuloh teupeh lom uroe nyoe,” kata mereka.
Nah, kalau ingin menikmati meuloh teupeh atau meuloh teupeh-peh, datang saja ke Trueng Campli!