Diyus

Nanti akan Kutulis Lebih Lanjut

Sesungguhnya ini perjalanan bersebab duka, tetapi dengan misi menghibur kawan yang tengah pilu. Ibunda Zulfan Amru berpulang. Ia seorang steemian produktif. Kabar mengenai perjalanan ini kuperoleh dari seorang non-steemian yang sesungguhnya berpeluang menjadi peramu konten kelas dunia menghubungiku. Ia bernama Bukoum Kuala Mentaro. Aku mendapat kabar dukanya sehari sesudah, namun masih tak tau bagaimana berkunjung ke sana tanpa terlalu menguras isi kantong.

“Bang… aku, Reza, Keubeu dan Bang Pojant mau ke tempat Bang Pan,” ujarnya. “Apa ke ikot? Tanyanya.

Aku mengiyakan. Sebab, aku dan Piasant punya kelekatan melebihi beberapa orang yang dekat denganku. Menolak tawaran seindah ini, apalagi berkait dengan peghiburan duka kawan kentalku adalah tindakan paling keji. Setelah menyepakati titik temu, aku menunggu kedatangan mereka. Berbekal sehelai kaos oblong sebagai pengganti, berangkatlah aku menuju rumah duka.

Ini semestinya perjalanan duka. Namun, kami adalah para pejalan yang bertujuan menghibur kawan yang sedang berduka. Sepanjang perjalanan berhias kelakar yang cuma terhenti ketika rahang terasa kaku akibat dosis tawa yang melampau batas. Juga perut yang telah terasa kejang. Nyaris di setengah sisa akhir perjalanan aku mengisahkan pengalaman menyantap Sup Grong-Grong.

Aku masih percaya dengan sensor lidahku soal lezat dan tak nikmat. Hingga untuk menggambarkannya kuurai persekutuan rempah yang mengadirkan rasa dalam kenang, menggema di rongga mulut dan sekujur lidah. Sayangnya, kisah itu kuutarakan saat Grong-Grong telah lewat.

Walhasil, kami makan subuh di Bireuen, di sebuah warung sebelah kiri jalan yang menyediakan kopi, minuman sachet dan nasi. Beragam lauk membuat @bookrak berdiri 5 menit untuk menentukan lauk pilihannya. Saat dan usai makan, celotehku tak berhenti soal sup Grong-Grong yang sungguh mempesona itu. Sup yang kusantap 3 kali. Ketiganya berlangsung di sepertiga malam yang akhir. “Suluh ketiga,” ujar Pojant melengkapkan istilah yang tepat atas bentuk waktu itu. Saat yang dianggap para penekun agama Islam sebagai golden time dalam belajar dan beribadah.

Usai membayar, mobil melaju lagi menuju rumah duka, Lhokseumawe. Mantan Kota Petrodollar yang konon telah menjelma menjadi Kota PetroSteemit. Sebab pagi masih terlalu muda, kami memutuskan berhenti di sebuah masjid saat Shalat Subuh. Beristirahat di situ. Aku yang tak lagi mampu memejamkan mata membiarkan saja kawan-kawan seperjalanan yang tidur di rangkang di bagian belakang masjid, menuju pelataran. Ternyata ada Pojant dan @Zeds di sana.

Setelah membicarakan situasi pagi yang sejuk, mengomentari tanaman pinang yang berdamping-tumbuh dengan kelapa, kami merasa butuh menyeruput kopi. Zulham yang berkampung di sekitar masjid tersebut merekomendasikan kami ngopi di Simpang Matang. Entah berapa tahun aku tak menikmati pagi ala warung di pusat kota kecil yang menyajikan pemandangan kesibukan manusia. Pegawai Negeri Sipil yang mengantar anak ke sekolah, seorang lelaki yang membeli 5 bungkus nasi gurih, orang-orang yang melawan arus lalulintas demi melaju lebih cepat juga segala bentuk kecurangan harian yang tampak sudah termaklumi begitu saja.

Usai sarapan sekedarnya, kami kembali lagi ke arah Banda Aceh untuk melihat kawan-kawan yang masih terkapar sejak usai subuh tadi. Musik di mobil mendentam, lagu Dream Theatre yang tak kutau judulnya menggema. Cukup untuk menjaga ketersediaan adrenalin pembunuh kantuk pagi yang sungguh menggoda untuk kuladeni.

Tiba di masjid tersebut, kami temukan kawan-kawan masih terkapar. Aku tak pernah berani membangunkan orang yang sedang tidur. Pojant berinisiatif menggugah mereka untuk melanjutkan perjalanan. Satu demi satu mereka bangun, membasuh muka dan membasahi kepala untuk menghadirkan sadar secepat mungkin. Setelah menghitung jumlah ‘pasukan’ kami melaju lagi.

Tiba di Lhokseumawe, kami tak langsung menuju rumah duka. Zulfan, sang ahli bait mengarahkan kami menuju warkop yang terletak 100 meter dari bibir gang rumahnya. Sebagai orang yang tiba terakhir di situ, aku menemukan rombongan telah mengambil kursi dan tertawa-tawa bersama Zulfan. Aku tak menemukan jejak duka di wajahnya. Pandai betul dia menyimpan rasa kehilangan sedalam itu.

Kami ngobrol di teras rumahnya yang berbentuk ‘L’. Pembicaraan memanas. Tuan rumah memberi kode agar kami bergerak menuju Warkop Taufik Uteun Bayi. Di sana, pembicaraan mengenai konstelasi politik lokal berlanjut. Terlalu banyak sanggahan yang kutemukan, terlalu banyak tangkisan yang kuterima tanpa kuserang. Akhirnya, sebuah kesepakatan tercapai.

Berpindah lagi rombongan ke rumah duka. Makan siang. Ini sesi terakhir kami bertemu dengan ahli musibah. Selanjutnya, kami bergerak menuju perjalanan perdurianan. Sebab, Hafid Polem telah mengikat janji berduri dengan @my451r di Buloh Blang Ara. Ke sanalah kami menuju. Durian tak seremeh yang kukira. Sebab, 30 buah berduri itu tak mampu kami habiskan.

Kusadari, tulisan satu ini seperti bajing yang melompat dari satu pohon tema ke pohon tema lain. Jangankan kalian, Wahai Sidang Pembaca… aku sendiri merasa anti-klimaks dengan catatan yang satu ini. Hari ini terlalu banyak untuk kukisahkan, itu sebab kujuduli “Nanti akan Kutulis Lebih Lanjut” karena memang aku baru akan merasa puas saat menuliskannya lebih lanjut. Kuharap demikianpula kalian akan mendapati rasa yang serupa.

 


Leave a Comment