Diyus

Off the Record

Selaku penjahat, ada sebuah prinsip yang masih kupegang hingga kapanpun, aku tak akan membuka rahasia kejahatan mitraku. Prinsip yang berlaku meski mitra kejahatanku mengkhianati komitmen yang kami rangkai saat membangun klan kami. Bersepakat membagi hasil seperti bajak laut, “Segala yang kita dapat dibagi rata!” Slogan yang hingga hari ini masih kuingat intonasi dan gemanya.

Begitu pula ketika mitra utamaku menyeberang ke pihak lain. Belakangan baru kuketahui ia menjual informasi untuk kartel lain, sesekali kepada aparat. Aku kerap ditangkap untuk sekedar menguras beberapa miliar rupiah dari rekening organisasi. Jumlah yang sungguh ‘tak seberapa mana’ sebab cuma perlu beberapa jam saja untuk mengumpulkan dana segitu.

Aku tak membalas tindakan mitraku, mantan mitraku. Tak mengejarnya, tak mengintimidasi keluarganya, tak menutup aksesnya ke organisasi kejahatan lain. Bukannya aku tak marah. Aku bukan malaikat, buktinya aku memilih bikin organisasi kriminal ketimbang lembaga pengajian. Kupikir, terlalu sedikit yang mesti kubasmi dengan energi dan biaya besar yang mesti kukeluarkan.

Sedetikpun tak kuluangkan waktu untuk membalas, bahkan ketika jariku dijepit dengan kaki meja saat interogasi. Tidak juga ketika 9 kuku kakiku dicabut, lalu disiram dengan larutan jeruk nipis bercampur garam oleh seorang kopral yang baru tamat. Bahkan ketika sepasang testisku didera simpul tambang kapal. Persis adegan James Bond: Casino Royale.

Tidak. Tak sepatahkatapun pernah meluncur untuk menunjuk keterlibatan mitraku, bahkan anakbuahku yang paling remeh sekalipun. Tak ada istilah expendable dalam filosofi kejahatanku, kecuali kalau akulah yang mesti menjadi korban dari jepitan situasi. Memilih sikap seperti ini membuat aku merasakan ketenangan para Sufi meski hidup bergelimang dosa. Sakit dan luka akan luruh oleh waktu. Cuma sikap hidup yang bakal abadi. Demikianlah yang kuyakini.

Publik akan tetap mengenalku sebagai penjahat. Pasti. Aparat kepolisian akan memasukkanku ke dalam daftar hitam mereka. Tentu. Tak pelak lagi. Beberapa tahun di penjara semu manusia apalah artinya. Di dalam sana aku bisa membangun wahana sesuka hati. Sel tempatku di tahan bisa kubuat senyaman penthouse. Apa bedanya. Belakangan aku menganggap status sebagai narapidana adalah liburan. Sebab organisasi sudah bisa ku-remote dari sini.

Sejak mendapat tawaran untuk menjalankan roda organisasi kejahatan dari seorang pejabat negara, aku telah berkomitmen untuk tidak pernah mengungkap namanya. Bahkan tak pernah mengungkap nama siapapun saat aku menerima risiko terburuk. Sejak itu pula terasa sungguh mudah melihat sesuatu dari balik layar, ketika kau membaca semua naskah birokrasi negeri ini.

Termasuk pasal apa yang akan lolos dari sebuah draft undang-undang, sampai kata apa yang boleh digunakan sebagai kata sambung. Saat itu aku baru sadar tentang manipulasi para penjahat saat memilih diksi ‘boleh’, ‘bisa’, ‘dapat’ dan ‘harus’. Ketika aku memahami daya dari tiap kata untuk memperdaya para jelata akal. Dunia kejahatanlah yang mengantarkan hasratku pada sastra. Bakal lebih mudah memanipulasi pikiran orang saat telah berkuasa atas makna kata.

Apakah aku tak takut berdosa dengan membiarkan orang salah mengetahui mengenai bahwa aku cuma pion dari para birokrat untuk membangun kekacauan? Aku takut berdosa, takut dengan siksanya, tapi ketika sudah terlalu banyak dan besar dosamu, apa salahnya menambah sebiji lagi. Lagipula, urusan mempercayai sesuatu bagiku adalah pilihan. Manusia memang cenderung memahami informasi di permukaan. Menolak untuk mencari lebih dalam, bahkan tak bersedia mengkonfirmasi kebenaran. Jika tak percaya, lihatlah para produsen dan pecandu hoax!

Bersambung…

Image Source:

  1. Image1
  2. Image2
  3. Image3
  4. Image4

Leave a Comment