bagaimana menulis essay yang baik

Taufik Al Mubarak

Bagaimana Menulis Essay yang Baik

SUATU hari atau lebih tepatnya dua bulan sebelum aku berangkat ke Kamboja, aku diundang memberikan sedikit ceramah bagaimana menulis essay yang baik. Temanya yang aku baca sekilas dalam skedul acara tertulis: mengelola media online dan tips menulis. Aku sempat ragu, apakah tema itu cocok untukku atau tidak. Soalnya, aku belum pernah (benar-benar) menjadi pengelola media online, dan pasti aku akan mengacau nantinya. Belum lagi aku disodorkan topik yang harus aku sampaikan mengenai tips menulis. Duh, meski seringkali berkutat dengan dunia tulis menulis, aku selalu merasa berat ketika diundang untuk membagi tips menulis.

Aku memang mengoleksi banyak power-point berisi tips menulis, buku tentang menjadi penulis dan sejenisnya. Belakangan, aku sendiri bahkan lupa di mana file-file itu aku simpan. Aku justru lebih hafal di mana letak file theme (template) blog dan file film Game of Thrones. Namun, panitia bersikeras aku hanya menyiapkan bahan presentasi dan sudah harus aku kirimkan kepada panitia sehari sebelum pelatihan berlangsung. Bayangkan, betapa tersiksanya aku dipaksa membuat bahan presentasi, sesuatu yang sudah jarang aku lakukan. Aku pun kebingungan mencari file bahan presentasi lama dari ribuan file di macbook.

Aku ingat, pada malam hari menjelang pelatihan, aku belum mampu membuat presentasi ‘bagaimana menulis essay yang baik’ sebagaimana permintaan panitia. Untuk mengusir kegalauan, aku memilih bermain Texas Holdem Poker, di mana jumlah menang dan kalah sudah tak bisa kuhitung. Tahu-tahu, semua jumlah chip yang kumiliki ludes tanpa sisa, dan malam semakin larut. Bagi penonton bola Liga Champions, waktu selarut itu disebut dini hari. Panitia mengingatkan, agar aku menyesuaikan bahan presentasi dengan durasi waktu yang diberikan. Ya, aku dikasih waktu buat ngoceh selama dua jam, dan aku diwanti-wanti untuk menyiapkan bahan presentasi sejumlah waktu tersebut. Sebenarnya aku sudah mengatakan kepada para panitia bahwa selama ini sudah jarang membuat presentasi (juga sudah jarang diundang memberi pelatihan menulis) dengan alasan macam-macam.

Aku ingat, seorang pengamat politik sekaligus akademisi yang pernah tersandung polemik ‘kitab suci itu fiksi’, Rocky Gerung, mengatakan, bahwa seorang pembicara yang terlalu mengandalkan power point ketika memberikan presentasi sama saja dia sudah membuat dirinya ‘tidak memiliki power dan kehilangan point’. Apa yang disampaikan itu masuk di benakku, dan memang benar adanya. Aku sering melihat pembicara yang lebih terpaku pada power point dan membuatnya berjarak dengan audiens. Orang model begini sebenarnya tidak menyampaikan apa-apa, dia hanya membaca saja apa yang sudah ditulis dalam power-point.

Kalian tahu, orang model begini, sebanyak apapun gelar akademis yang dimilikinya tidak bakal diterima bekerja pada mendiang Steve Jobs! Pendiri Apple itu tidak akan memilih orang-orang yang menyampaikan buah pikirannya melalui power-point, sekali pun dia sendiri saat masih hidup ketika memperkenalkan produk keluaran Apple juga mengandalkan sejenis ‘power-point’ tapi buatan Apple: keynote. Jobs ingin orang-orang menyampaikan ide yang ada di dalam pikirannya, bukan berdasarkan apa yang ditulisnya dalam bentuk power-point.

Dalam buku biografi Steve Jobs yang ditulis oleh Walter Isaacson, partner Steve Woszniak itu kerap disebut menggelar rapat dalam posisi berdiri. Menurutnya, orang lebih mampu mengeluarkan buah pikirannya kalau disampaikan sambil berdiri, dan rapat tidak akan berlangsung lama, karena orang hanya menyampaikan hal-hal penting saja. Dan, Steve Jobs paling sering mengajak bicara orang-orang itu sambil berjalan-jalan di halaman rumahnya yang luas itu.

Aku jelas bukan Steve Jobs dan juga tidak mungkin bisa bekerja di Apple, sebuah perusahaan yang disebut-sebut paling bernilai/berharga di dunia. Dan, aku masih harus menyiapkan bahan presentasi sebagaimana diminta oleh panitia. Setelah berpikir cukup keras, dan beberapa kali gonta-ganti template presentasi dan bahan-bahan yang terlanjur aku masukkan, akhirnya aku bisa menyelesaikan sebuah presentasi yang boleh dibilang singkat dan ringkas. Begitu selesai aku langsung mengirimkan kepada panitia melalui email, dan mengabarkan basa-basi: sampai bertemu besok. Aku bersyukur diberikan jadwal ngoceh menjelang makan siang, sehingga tidak harus bangun pagi lebih cepat.

Esoknya, ketika aku dipersilahkan maju ke depan, seorang yang didapuk sebagai pemandu jalannya diskusi, mengomentari presentasi yang aku bikin dan kini sudah terpampang di layar. “Ini sebuah presentasi yang sangat singkat dan membingungkan siapa pun yang membacanya,” katanya. Dan, dia berharap agar aku memiliki bahan ekstra untuk mengimbangi waktu ‘dua jam’ yang disediakan bagi ocehan yang tidak penting. Sebelum aku tampil, pembicara sebelumnya sangat siap, dan presentasinya dibuat sangat serius mungkin mencapai 20 halaman.

Setelah berbasa-basi dengan mukadimah yang tidak terlalu panjang, aku mulai bercerita tentang apa saja ‘mutiara’ yang terkandung dalam presentasi yang cukup singkat itu. Aku jelaskan satu persatu makna dari gambar yang aku tempel dalam presentasi dan mengaitkannya dengan tips menulis. Aku merasa, itu sebuah presentasi yang berlangsung lancar. Soalnya, aku tidak harus membaca point-point yang ada di dalam bahan presentasi. Cukup menceritakan apa saja point yang dikandung oleh gambar yang sebenarnya bisa mereka ceritakan sendiri kepada pemirsa (peserta pelatihan). Kalian bisa melihat sendiri bentuk presentasinya yang aku lampirkan dalam tulisan ini (lihat gambar 2-6), dan itu sama sekali tidak menjelaskan tentang bagaimana menulis essay yang baik.

Karena tema tulisan ini tentang bagaimana menulis essay yang baik, aku akan mencoba mengaitkannya untuk kalian. Harap maklum saja, aku bukan penulis esay yang baik, dan hingga kini mencoba belajar bagaimana menjadi penulis esay yang baik, di mana caranya dengan belajar bersama-sama kalian. Essay adalah sebuah tulisan serius yang oleh para sastrawan dimasukkan dalam kategori non-fiksi. Farid Gaban, mantan Redaktur Pelaksana TEMPO yang kini mengelola The GeoTimes, dalam sejumlah tulisannya tentang penulisan, mengomentari kenapa essay dimasukkan dalam kategori non-fiksi, yang menurutnya untuk membedakan essay dengan puisi, cerpen, novel dan drama (semuanya fiksi). Karenanya, essay dikenal juga sebagai creative non-fiction.

Para penulis essay ternama di Indonesia seperti Mahbub Djunaidi, Goenawan Mohammad, Putu Setia, Putu Wijaya, Bondan Winarno, Mohamad Sobary, YB. Mangunwijaya dan sebagainya, kerap mengadopsi teknik penulis fiksi ketika menulis essay. Akhirnya, meski dikenal sebagai bacaan serius, essay di tangan penulis yang disebutkan itu, menjadi enak dibaca, renyah, dan tentu saja tidak kering. Soalnya, dalam essay mereka sangat kentara subyektifitas dan keterlibatan mereka dalam tema-tema yang ditulis tersebut.

Aku jelas tidak memiliki tips bagaimana menulis essay yang baik, dan untuk hal ini aku menyarankan kalian membaca saja karya-karya penulis yang aku sebutkan di atas, yang banyak tersedia di internet, dan setelah kalian membacanya mudah-mudahan saja bisa mengikuti jejak mereka. Dan, demi mengakhiri tulisan ini, aku jelas tidak akan membiarkan diriku tidak menitip saran, dan sarannya sangat sederhana: periksa dengan teliti tulisan yang sudah kalian tulis, temukan kesalahan penulisan ejaan yang salah dan kecerobohan kecil lainnya yang membuat pembaca terganggu saat membacanya. Saran ini jelas berat, dan aku sendiri belum tentu sanggup mengamalkannya.

Oh ya, soal presentasi yang kita bicarakan di atas, aku sukses mempresentasikannya. Dan, waktu dua jam yang diberikan rupanya tidak cukup, sampai aku harus diingatkan dua kali oleh pemandu jalannya diskusi bahwa waktu makan siang sudah tiba. Selesai bicara, satu satu pendengar yang juga seorang teman, berbisik padaku: kalau bahan presentasi diberikan kepadaku, aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Tidak ada bayangan sama sekali!

Setelah kalian membaca tulisan ini, dalam hati kalian pasti bergumam: tulisan ini sama sekali bukan tentang ‘bagaimana menulis essay yang baik.” Ayo, jujur sajalah! []

Image source: 1. Image 2-6 creation by canva.com.


Leave a Comment