Jeffry Pondaag

Pemerintah Belanda Ajukan Banding atas kasus Penyiksaan Yaseman

Qaid Arkana

ACEHPUNGO.com – Pemerintah Belanda, Senin (8/10/2018) mengumumkan akan mengajukan banding atas kasus penyiksaan Yaseman. Pada 2014 lalu, Yaseman melalui pengacaranya menuntut Pemerintah Belanda bertanggung jawab atas penyiksaan yang diterimanya selama masa Perang Kemerdekaan 1945-1949.

Yaseman menjadi orang Indonesia pertama sebagai korban perang yang bersaksi di pengadilan melalui Skype di tahun 2017. Beberapa minggu setelah memberikan kesaksiannya, Yaseman meninggal dunia di kampung halamannya, Malang, dalam usia 89 tahun.

Pada Juli kemarin, pengadilan di The Hague memutuskan bahwa pemerintah Belanda bertanggung jawab atas penyiksaan terhadap Yaseman. Pengadilan memaksa pemerintah Belanda untuk membayar ganti rugi 5.000 Euro kepada keluarga Yaseman. Sayangnya, Yaseman sendiri tidak bisa mendengar putusan pengadilan Belanda ini.

Berdasarkan bukti yang diajukan pihak Yaseman dalam sidang yang digelar pada 18 Juli 2018, tentara Belanda terbukti meremukkan tulang Yaseman dengan tongkat dan menyundutkan rokok di kepalanya saat ditangkap pada tahun 1947.

“Ini bukti nyata bahwa Belanda melakukan penyiksaan dalam skala besar selama perang Kemerdekaan (Indonesia),” kata Pengacara Yaseman, Liesbeth Zegveld seperti dikutip dari laman brikolase.com, Minggu (14/10/2018)

Dari semua korban penyiksaan, kata Zegveld, hanya satu yang sudah diajukan ke pengadilan, yaitu kasus pak Yaseman. “Memalukan bahwa pemerintah tak mau bertanggungjawab, bahkan hanya untuk satu kasus ini,” katanya terkait upaya banding yang diajukan pemerintah.

Sementara Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.), Jeffry Pondaag, menyesalkan upaya banding yang diajukan pemerintah Belanda. “Banding Pemerintah membuktikan bahwa Belanda masih tak mau bertanggungjawab atas apa yang terjadi di sana (Indonesia),” kata Pondaag yang membela korban Indonesia dan mereka yang menolak ikut wajib militer Belanda.

Menurut Pondaag, semua publikasi menunjukkan bagaimana kejahatan perang Belanda bersifat struktural dan meluas. Apa yang terjadi (dalam kasus Yaseman) jelas pelanggaran Hak Asasi Manusia dari pejabat tertinggi.

Padahal, lanjut Pondaag, tahun lalu (2017) pemerintah Belanda baru saja menggelontorkan dana 4,2 juta Euro untuk penelitian selama 4 tahun tentang kekerasan di masa perang Kemerdekaan Indonesia. Bersama Francisca Pattipilohy (92th), Pondaag mengkritik dengan menulis surat terbuka kepada pemerintah Belanda yang mempertanyakan independensi dari penelitian tersebut.

“Apa maksudnya ini jika pemerintah yang sama memilih mengajukan banding dalam kasus ketika mereka cuma diwajibkan membayar 5.000 Euro? Ini menunjukkan tidak adanya niat baik apapun terhadap korban perang Indonesia,” kata sosok yang memaksa pemerintah Belanda membayar miliaran rupiah untuk korban Rawagede.

Parahnya lagi, kata Pondaag, Institut Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), satu dari tiga lembaga yang melaksanakan penelitian itu, berada langsung di bawah Kementerian Pertahanan dan mendukung pemerintah menentang dan menolak klaim seperti kasus Yaseman.

Kasus Yaseman
Pada tahun 1947, Yaseman yang berumur 18 tahun, ditangkap Tentara Belanda di selatan kota Malang, Jawa Timur. Ia lalu menjadi tawanan selama setahun. Dia diduga sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Selama 13 bulan dia ditawan, dia disiksa dengan berbagai cara, seperti waterboarding, yakni teknik penyiksaan dengan menuangkan sejumlah besar air melalui selang.

Yaseman yang bersaksi pada Juli melalui Skype dalam sidang dengar mengungkapkan bahwa tentara Belanda menendang perutnya setelah wateboarding, memaksanya untuk memuntahkan airnya lagi. Dia juga mengaku disengat listrik dengan menggunakan kabel telepon militer.

Ketika diwawancara dalam acara Altijd Wat (2013, “Always Something”), Yaseman mengatakan bahwa sengatan listrik adalah yang paling menyakitkan. Tentara Belanda juga menyundutkan rokok yang menyala di kepalanya, memukul kepalanya, meremukkan tulangnya dengan tongkat kayu dan mengikatnya selama berjam-jam di bawah terik matahari.

Tak hanya itu, tentara Belanda juga memaksanya tidur dengan kotoran dan air kencingnya. Dengan bukti-bukti yang kurang, pemerintah Belanda hanya dinyatakan bersalah atas tindakan peremukan dengan tongkat dan menyundutkan rokok. Dengan kata lain, waterboarding dan siksaan sengatan listrik tidak termasuk.

Leave a Comment