Saya jarang menulis tentang karakter orang Pidie. Seingat saya, tema ini nyaris tidak pernah saya singgung di blog atau di media tempat saya bekerja dulunya. Bahkan, tidak banyak yang tahu kalau saya orang Pidie. Hal ini karena saya jarang aktif di peguyuban orang Pidie atau bergaul dengan orang Pidie.
Kali ini, saya menulis tentang karakter orang Pidie, yang membuat mereka sering meraih sukses justru ketika mereka keluar dari Pidie [Ini semacam Tips Sukses Orang Pidie di Perantauan]. Orang Pidie adalah perantau dan berdiaspora ke tempat lain di mana mereka belajar mengadu dan mengubah nasib.
Oleh orang yang membenci atau mengaguminya, orang Pidie sering dilakabkan dengan Cina Hitam, entah sebagai bentuk pujian atau merendahkan. Saya tidak tahu persis. Namun, kesuksesan orang Pidie di dunia dagang sudah lama diketahui oleh kafir.
Saya mencatat, setiap pemuda Pidie yang ingin merantau ke luar daerah, mereka akan diberi petuah/nasehat, sebagai bekal bertahan hidup di perantauan. Nasihat pertama dari ayah mereka, “kajak beurangkaho juet dan ka kerja pat mantong hana masalah. Tapi beu jujur dan disiplin.”
Nasihat dari sang ibu lain lagi, “kajak beurangkaho juet, nyang bek tuwo sembahyang.”* Dua nasihat yang sekilas sangat berbeda, namun muaranya sama: bek seumalei ureung chik dan gampong. Sebuah pendidikan karakter yang sangat mengakar dan penting!
Apa yang saya tulis ini boleh jadi penafsiran atas pendidikan karakter tadi atau mungkin juga hanya pembacaan dari luar saja, yang berpotensi keliru. Karenanya, selain orang Pidie jangan coba-coba menulis seperti ini. Sebab kalian bisa membuat marah seluruh masyarakat Pidie, dan tulisan kalian berisiko kena flag.
Karena saya orang Pidie, teman-teman saya dari Pidie tidak akan tega mem-flag tulisan saya, karena sesama orang Pidie berlaku rumus, “sesama bis kota dilarang saling mendahului di tikungan” yang familiar di jalan raya. Atas dasar itu pula, saya berani menulis tentang Tips Sukses Orang Pidie di Perantauan ini.
Baca juga: Pidie dan Stempel
Pertama: pemuda Pidie yang merantau keluar daerah mereka mau bekerja di mana saja. Mereka biasanya akan bersabar hingga tiga tahun. Jika tak ada tanda-tanda bakal sukses, mereka akan mencari tempat kerja lain.
Dulu, kita sering mendengar cerita bahwa orang Pidie yang bekerja di sebuah warung di perantauan, mereka tidak mau mengambil gaji secara penuh, hanya seperlunya saja. Mereka menyimpan gaji itu sama toke. Lama kelamaan, jumlah gaji itu menumpuk dan toke tidak sanggup lagi membayar. Akhirnya, warung itu pun terpaksa berpindah kepemilikan. (Saya berharap cerita begini hanya hoax belaka).
Kedua: Orang Pidie termasuk tidak sabar, dan mereka maunya cepat sukses di perantauan. Mereka tidak pernah nyaman bekerja sebagai karyawan dan menjadi anak buah. Saya pernah mendengar cerita (lebih mirip humor), misalnya, di kota seorang pemuda Pidie bekerja di sebuah warung nasi.
Warung nasi dulu itu tidak secanggih sekarang, karena bumbu masih digiling menggunakan batu giling. Sambil menggiling bumbu, dia meracau: “toke di depan, saya di belakang; toke di depan saya di belakang.”+ Lalu, saking asiknya meracau, dia salah ucap: sesekali saya di depan, toke di belakang.++
Ada yang bilang, lama-lama jadi benar, dia yang jadi toke, sementara toke yang sebenarnya udah jadi karyawan dia dan bekerja di belakang (dapur).
Ketiga: orang Pidie itu jago dalam hal marketing dan menjual. Misal, ketika dia menjual suatu barang, katakanlah rol alias penggaris. Dia akan bilang penggaris yang dijualnya itu punya kualitas nomor satu dan tidak mudah patah. Dia akan coba patah-patahin penggaris itu di hadapan calon pembeli, dan ketika penggaris itu patah, langsung dia bilang, “penggaris yang saya jual tidak patah seperti ini,” katanya sambil menunjuk penggaris yang patah.
“Parahnya tidak seperti ini,” katanya lagi.
Keempat: Banyak orang selain Pidie menuduh orang Pidie pelit dan sangat irit (saya sendiri menolak anggapan ini). Padahal, mereka itu hanya salah menafsirkan ungkapan, “bu ngon ie dikira”. Coba saja bergaul akrab dengan orang Pidie, dan mereka lagi banyak duit, maka makan dan minum kita semua ditanggung mereka.
Ah, sudahlah, dijelaskan bagaimana pun mereka tetap tidak akan mengerti dan masih percaya bahwa ungkapan bu ngon ie dikira itu menunjukkan orang Pidie pelit. Mereka memahami kata “dikira” dengan dihitung atau dibuat perhitungan, padahal sebenarnya itu bentuk tanggung jawab orang Pidie memastikan nasi dan minum tamunya tersedia.
Kelima: Jika orang Pidie bertemu dan janjian dengan temannya dari daerah lain, kebetulan pas makan siang, maka dia akan bertanya: “sudah makan?” Kalau yang bersangkutan menjawab sudah makan, dia akan menyahut, “kok cepat kali makan?” Sementara jika yang bersangkutan belum makan, dia langsung tanya, “kenapa telat kali makan?” Cerita ini saya dengar dari sebuah obrolan di warung kopi.
Oh ya, satu lagi. Orang Pidie itu pekerja keras. Ketika pergi merantau, mereka hanya membawa uang secukupnya bahkan hanya untuk ongkos bus saja. Mereka sama sekali tidak mempersiapkan ongkos pulang, karena mereka memang ingin merantau.
Bagi mereka, malu jika pulang ke kampung belum jadi orang sukses di perantauan. Mereka mereka mau bekerja apa saja, termasuk jadi pencuci piring dan gelas di warung nasi atau warung kopi. Kalau tidak mau begitu, mereka tidak dapat makan enak, boro-boro mau jadi orang sukses.
Untuk orang Pidie lebih baik tidak membaca tulisan ini, cukuplah penulis saja yang membacanya selagi menulis. Percayalah, orang Pidie itu bersahabat tanpa syarat! Itulah asyiknya jadi orang Pidie. []
Note: Tulisan Tips Sukses Orang Pidie ini pertama kali terbit di Steemit, tujuh tahun lalu.