Muhammad Alkaf

Aku dan Cak Nur (Bagian Pertama dari Dua Tulisan)

Kuliah di Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry telah membentuk aku menjadi pribadi yang ingin terus bertanya kepada sesuatu yang sudah dirasa taken of granted. Yang mendorong hal pertama itu adalah mata kuliah Ilmu Kalam yang diasuh oleh Prof Farid Wadjidi, rektor IAIN Ar Raniry sekarang. Dalam mata kuliah itu aku disadarkan bahwa ternyata Islam itu tumbuh dan berkembang dalam ranah sejarah.

Bahkan tafsir tentang ketuhanan, rupanya juga berdialektika dalam sejarah. Bahwa apakah Tuhan berkehendak atau tidak, apakah manusia bebas atau tidak dan seterusnya. Lalu bagaimana perpecahan kalam diawali oleh pertikaian politik. Ini kemudian yang membuat aku kembali mempertanyakan doktrin agama yang saya sebelumnya terima tanpa pertanyaan kritis.

Satu hal yang paling berbekas mengenai pertanyaan-pertanyaan itu adalah mengenai kehendak Tuhan di atas kehendak manusia. Satu diktum yang sering kita dengar dalam hal ketuhanan adalah ‘Manusia berusaha Tuhan menghendaki’ . Lalu kemudian itu menghantarkan saya kepada pertanyaan yang meresahkan; ‘bila Tuhan menghendaki hambanya masuk neraka bagaimana ya? Walau pun itu kehendak Tuhan, namun yang dibakar tetap saja sakit’. Begitu pikir ku kala itu.

Walau kemudian ada pikiran yang sampai saat ini belum juga dapat jawabannya ‘Tuhan Maha Mengetahui, berarti Tuhan tahu bahwa manusia yang diciptakannya nanti akan berbuat dosa dan akan disiksa di dalam neraka, bila tahu, lalu mengapa pula Tuhan menciptakan manusia itu? Apakah ini bisa disebut Tuhan melakukan kezhaliman?’Saya kira pertanyaan-pertanyaan esensial demikian pastilah ada dalam setiap benak manusia beriman, terlepas dia mempublikasikannya atau tidak.

Di IAIN pula aku kemudian berkenalan dengan berbagai organisasi, diantaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aku mengikuti LK 1 HMI awal tahun 2001, tepatnya semester dua masa perkuliahanku, melalui training yang fasilitasi oleh Komisariat Fakultas Dakwah IAIN Ar Raniry.

Mengikuti training seperti HMI tidak lah asing, sebab ketika aku masih SMA, sudah mengikuti beberapa training, seperti ISKADA dan PII. Jadi bila nanti harus bergadang, berdiskusi, ikut mendengarkan materi, makan ramai-ramai maka hal tersebut bukanlah masalah berarti. Apa lagi di HMI ada sebuah ‘doktrin training’ bahwa makan bukan program.

LK 1 itu saya mengingat beberapa nama yang membidani traning kami, ada Muslim Hasan Birga, Muhammad Dayyan, yang kini sedang studi di Malaysia, Said Muniruddin, yang kini menjadi dosen di FE Unsyiah. Lalu pemateri yang berkesan bagi saya kala itu adalah Syarifuddin yang membawa materi Nilai Dasar Perjuangan.

Cara penyampaian materinya sangat baik. Islam diajarkan bagi kami sangat rasional dan menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Intinya, kami diminta untuk percaya diri bersama Islam.

Hal kemudian yang membuat aku bertanya, dan kemudian hari membentuk cara berfikir dan beragama saya adalah dengan seringnya Nurcholish Madjid atau Cak Nur ‘dihadirkan’ dalam ruang training. Baik pemateri maupun mentor sering mengutip pendapat Cak Nur dalam melihat banyak masalah.

Ini kemudian yang menghadirkan keheranan saya, sebab di luar sana, nama Cak Nur seperti penjahat pemikiran. Pemikirannya dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya dan menghancurkan Islam dari dalam, namun di HMI Cak Nur malah diposisikan sebagai pemberi jasa kepada bangsa.

Keheranan ini ternyata membekas sekali. Memang aku kemudian tidak aktif di HMI sebagai pengurus, hanya sebentar di Komisariat Fakultas Dakwah dan di Cabang Banda Aceh pada masa kepemimpinan Makmun. Namun demikian, bagi-ku itu sudah cukup, sebab yang penting bagi, HMI telah mengenalkan kepada Cak Nur, yang bila aku mengutip perkataan Gunawan Muhammad dalam pengantar buku Pintu Pintu Menuju Tuhan ‘Setiap kali mendengar nama Nurcholish Madjid, setiap kali saya merasa ada yang terselamatkan dalam iman saya’. Setelah itu maka pemikiran Cak Nur terus menghiasi dalam kepala ini. Dalam ruang kuliah saja misalnya, memberi pendapat pastilah akan mengutip Cak Nur. Bahkan bila ada dosen yang mengutip Cak Nur, maka senyumku lah yang paling mengembang di dalam kelas.

Aku juga ingat bagaimana ‘bergetarnya jantung ini’ ketika mengadakan diskusi oleh HMI Komisariat Fakultas Dakwah dengang mengundang pemateri Mahyiddin Daud. Nama Mahyiddin Daud kala itu begitu terkenal karena pemikirannya yang liberal dalam training-training HMI.

Dalam diskusi tersebut, Mahyiddin Daud membawa buku Cak Nur ‘Islam doktrin dan Peradaban’ aku ingat betul dengan peristiwa itu. Setelah itu berturut aku membaca buku-buku Cak Nur yang kala memang tersebar luas di pustaka IAIN Ar Raniry. Walau pada masa itu aku sama sekali tidak mengerti apa yang ditulis oleh Cak Nur .


Muhammad Alkaf adalah Peneliti di Aceh Institute dan Pegiat di Kelompok Studi Darussalam